Kamis, 25 November 2010

Rindu Amang

Selasa, 23 November 2010 | 11:19 WIB
KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
ilustrasi
Cerpen Aizzah Nur

Pria ber-Jeep-Cherokee-hijau tua keluaran tahun 1997 itu selalu berhenti di ujung gang yang bersisian dengan fly over dekat dengan tempat tambal ban tidak jauh dari tempatku biasa duduk, selalu, hampir setiap malam ia di sana, ia sedang menunggunya, menunggu mereka yang tanpa perlu dijelaskan pun orang-orang akan tahu dengan sendirinya cukup dengan melihat sekali saja ritual kecil itu.
Ryani memeluk amangnya lama, tak hiraukan inang, dan kedua saudaranya yang masih terantuk-antuk menunggu di luar mobil.
Setengah tujuh malam, selepas adzan maghrib, ia seperti menjadi mentari pagi yang tak pernah mengingkari janji. Menghentikan mobilnya, memarkirnya agak ke sisi dalam trotoar, tepat di bawah rambu lalu lintas dengan simbol huruf S bercoret.
Ia berhenti di sana tanpa mematikan mesin mobilnya. Memutar tembang-tembang lawas dalam volume lirih sambil mencoba ikut bersenandung menikmati tiap sesapan asap dari sebatang rokok yang selalu diam-diam ia sembunyikan di bawah jok mobilnya. Membuka setengah jendela, mengepulkan asap membentuk bulatan dan menatap kosong ke arah langit yang berwarna abu-abu itu.. Penampilannya sederhana, menggunakan kemeja berlengan pendek, celana kulot, dan kadang menggunakan topi dengan bordir bertuliskan Polisi Militer Istana Negara. Ia selalu membanggakan topinya itu, entah bagaimana ia mendapatkannya, ia tampak selalu senang mengerjai polisi-polisi yang tidak jadi menilangnya hanya karena topi keramatnya itu. Wajahnya sendu, pipinya bergelambir, dengan kantung berair menggelayut di bawah matanya.
Tidak pernah lewat dari setengah jam, rutinitas yang lain menyusul. Samar terdengar derap dua anak yang berlari berkejaran. Maka ketika itulah ia cepat-cepat mematikan rokoknya, terburu-buru menghilangkan jejak asap yang pada akhirnya tidak pernah berhasil ia sembunyikan karena selalu saja ketahuan. Ia menatap ke ujung gang tempat dimana kedua anak itu beberapa detik kemudian akan muncul dengan senyum mengembang menyambutnya. Dua anak, laki-laki dan perempuan dengan selisih usia setahun lebih sedikit itu saling mencoba menjatuhkan, seperti sebelum-sebelumnya, si anak lelakilah yang selalu memenangkan kompetisi itu. Ia bisa mencapai kait pintu mobil Jeep Cheeroke hijau, membukanya, dan dengan engah penuh kemenangan duduk di dalamnya. Di sebelah amangnya.
Segera ia menutup pintu dan menyalami pria yang sedari tadi sudah menunggunya itu, mencium punggung tangannya penuh hormat. Pria itu mengusap kepala sianak laki-laki kemudian mencium pipinya, sembari menyambut belahan jiwanya yang lain masuk melalui pintu belakang mobil, bersungut-sungut karena kalah berkompetisi dan gagal menempati jok sisi sebelah pengemudi, sebelah Amangnya tersayang. Hal yang sama dilakukan Ryani, penuh peluh ia menyalami Amangnya, mencium punggung tangan seperti yang dilakukan si anak lelaki, dibalas sun ringan dari si Amang, lantas bersandar lesu di jok di belakang Amangnya. Obrolan ringan mengalir diantara mereka.
Mobil itu tak jua beranjak. Masih ada yang ditunggu ternyata. Tidak lama, dua orang lainnya muncul diujung gang, dengan postur yang mirip, bertubuh gempal melenggang santai. Dua orang perempuan, perempuan yang pertama terlihat jauh lebih muda, dia pastilah si anak sulung yang berjalan mengiringi ibunya, Inangnya. Ia melambai ke arah pria itu, berlari kecil meninggalkan Inang di belakang. Mengambil posisi tengah di deretan bangku belakang, ia berikut inangnya kembali melakukan apa yg tadi dilakukan si bungsu dan si tengah, Ryani. Sungguh ritual yang indah.
Mesin mobil menderu dan mobilpun kembali melaju. Meninggalkan debu dan asap yang seketika lenyap. Menyisakan gelap yang senyap.
***
Larut sekali mobil keluaran tahun 1997 itu pulang, kembali ke tempat ia biasa diparkir. Ketiga anak amang sudah terlelap rupanya. Kadang Amang dan Inang harus menunggu beberapa menit sampai ketiga buah hatinya terbangun sendiri, mengakhiri mimpi-mimpi mereka yang baru saja dimulai.
Ryani memeluk amangnya lama, tak hiraukan inang, dan kedua saudaranya yang masih terantuk-antuk menunggu di luar mobil.
"Besok kita jalan-jalan lagi ya sayang.." Amang berujar
Ryani mengangguk, mencium pipi amangnya dan beranjak keluar.
Hujan, angin, badai, belum pernah ada yang mengubah tradisi itu. Tradisi Amang menunggu Inang di ujung gang. Puluhan tahun sudah. Amang selalu di sana, setia, penuh kesabaran, tanpa sekalipun mengeluh, meleunguh.. Memang, terkadang tidak selamanya sebuah pilihan itu membutuhkan alasan, pun ketika mereka yang saling mencintai memilih tidak bersama untuk bisa saling memiliki..
* * *
Selepas adzan maghrib berkumandang, aku terbuai oleh semilirnya angin berdebu Jakarta, aku pun bergumul dengan rasa kantuk yang membuai. Sayup terdengar langkah kaki berderap berlarian berkejaran.
"Ahh..hanya segilintir ritual kecil yang masih tersisa..." aku membatin.
Kudapati sigadis anak nomor dua sudah berada diujung gang, diikuti adik laki-lakinya menyusul dari belakang. Diam mengawasi Ryani. Ya, terkadang beberapa tradisi bisa berubah seiring berlalunya waktu. Ryani masih terengah dengan senyum semanis dan mata yang sama berbinarnya tiga bulan yang lalu, ketika Amangnya masih menunggunya di ujung gang yang bersisian dengan fly over ini.
Pandangannya terus saja beralih dari kanan, ke kiri, memutar, panik mencari-cari Jeep-Cherokee-hijau keluaran tahun 1997 yang selalu di sana seperti biasanya.
Setengah berlari ia menghampiri aku yang sedang selonjoran di bawah sebuah tiang listrik yang sudah tidak berfungsi lagi. Tidak jauh dari tempat tambal ban tempat Cherokee tua itu biasa terparkir
"Kau liat Amang?" tanyanya padaku.
Aku hanya bisa nyengir, menyeringai memamerkan gigi-gigi kuningku yang sebagian sudah tanggal , lagi lapuk dan busuk.
Kulihat senyumnya memudar, khawatir, cemas, ketakutan.. Kini binar di mata itu hilang digantikan buliran air jernih yang merembes dari sela-sela kelopak matanya.. Tak ada kehidupan di sana, buminya kini sudah tak bermentari lagi.. Sibungsu menggenggam kedua bahu Ryani, menggiringnya menyusuri gang untuk kembali pulang.
"Sudah lah kak..mari kita pulang saja.."
"Tapi kemana Amang? Amang janji pada kak Ryani hari ini kita akan jalan-jalan lagi.." masih sesenggukan Ryani meronta dalam cengkraman adiknya yang memaksanya pulang.
"Iya kak..besok.. Sekarang kita pulang dulu. Sudah malam.."
Ya.. ini hanya malam Ryani sayang.. Kau hanya butuh waktu untuk bisa terbiasa dengan bagian bumi yang tak bermentari. Mentarimu bukan pergi, ia hanya sedang berada di belahan bumi lainnya.. Dan ia akan tetap menyinarimu..hanya saja, dengan cara yang sedikit berbeda..
- 26 Maret 2010 –
Mengenang (Alm) Bapak
Biografi singkat: Aizzah Nur. 22 Tahun. Karyawati, Matraman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar