Kamis, 25 November 2010

Rahel, "Guru Malang, Dibuang Jangan"

Kamis, 25 November 2010 | 01:02 WIB
Jodhi Yudono/kompas.com
Gol A Gong
Oleh Gol A Gong
Sekitar tahun 2004, Rahmat Heldy HS datang ke Rumah Dunia. Semangatnya meledak-ledak. Bicaranya penuh mimpi, walau terkesan ngawur dan kurang referensi. Tapi, yang saya suka, Rahel, sapaan akrabnya, berasal dari kampung yang terisolir; Waringinkurung, Serang. Jika menuju Cilegon dari arah Jakarta, sebelum keluar di pintu tol Cilegon Timur, di sisi kiri ada gunung Pinang. Di balik gunung itulah Rahel berasal. ”Kampung saya kacau. Sawah-sawahnya jadi perumahan, pembakaran genteng telantar, jalannya mirip kubangan kerbau, sungai kena limbah, dan pendidikan dianggap tidak penting,” kata Rahel, mahasiswa FKIP Sastra Indonesia, Untirta Serang.
MENEMPA DIRI
Lantas Rahel menunjukkan tulisan-tulisannya. Diksinya lumayan untuk anak kampung. Tapi, tata bahasa lemah. Maka saya sarankan bergabung di Kelas Menulis Rumah Dunia angkatan ke-4. Saya bertanya, ”Siap kalau karyamu saya kritik?” Rahel menyatakan siap. Jika ingin maju, harus mau dan siap dikritik.
Cita-cita Rahel ingin menjadi penulis besar. Saya menyarankan Rahel, agar terus menempa diri dengan membaca, mengikuti diskusi dan pelatihan menulis. Waktu pun bergulir.   Rahel keluar-masuk komunitas sastra di Banten. Rahel menempa dirinya; mengisi otak dan ceruk jiwanya.   Essay dan puisinya mulai muncul di koran Radar Banten dan Fajar Banten (sekarang Kabar Banten). Saya meneleponnya dan mengucapkan selamat sambil terus mengingatkannya, agar jangan sombong dan mengkritik tulisannya, karena masih banyak salah tanda baca. Rahel bergabung dengan (alm) Wan Anwar, redaktur majalah Horison. Lalu puisi-puisinya muncul di Horison.
Melihat Rahel adalah melihat anak muda yang ingin maju. Dialah tipe generasi muda yang kuat dan memiliki karakter pantang menyerah.  Saya ingat ceramah Prof. Dr. Yoyo Mulyana, M.Ed, mantan Rektor Untirta yang getol mengingatkan kepada kita, tentang betapa pentingnya menjaga karakter, ”Hati-hati dengan hatimu, karena itu akan jadi pikiranmu. Hati-hati dengan pikiranmu, karena itu akan jadi tindakanmu. Hati-hati dengan tindakanmu, karena itu akan jadi kebiasaanmu. Hati-hati dengan kebiasaanmu, karena itu akan jadi karaktermu. Hati-hati dengan karaktermu, karena itu akan jadi masa depanmu.”
Begitulah saya menganalogikan Rahel. Dia datang ke Rumah Dunia membawa karakter kuat untuk belajar dan ikut bermimpi bersama kami. Gaya bicaranya meledak-ledak dan penuh semangat. Respon dan antusiasmenya luar biasa. Dia mulai rajin belajar dengan membaca buku dan lingkungan. Dia mulai memanennya satu demi satu.
PUBLIC FIGUR
Saya butuh anak muda penuh semangat seperti Rahel. Di Rumah Dunia banyak relawan memiliki karakter kuat ingin maju seperti Rahel. Dengan anak muda berkarakter kuat seperti itu, maka saya akan menggegerkan Banten. Sekarang Rahel jadi PJ. Sastra di Rumah Dunia dan meneruskan jenjang S2 di Pasca Sarjana Untirta, Serang. ”Saya harus jadi dosen di Untirta, supaya bisa berbuat banyak di kampung. Saya harus jadi seseorang dulu, jadi public figure seperti Mas Gong, agar orang-orang tidak menyepelekan saya.”
Di negeri ini, masih bukan pada apa yang dikatakannya, tapi pada siapa yang mengatakannya. Saya punya kepentingan dengan Rahel, karena ”gempa literasi” (pertunjukkan seni, aneka lomba literasi, bedah dan peluncuran buku, wakaf buku, pelatihan, dan diskusi) di Banten harus dimulai di kampung-kampung. Rahel adalah agent of changes. Dialah pengasongnya, ibarat tukang minyak keliling kampung menawarkan minyaknya. Jika orang kampung datang kepadanya meminta perubahan, Rahel menyediakannya seperti halnya agen minyak.
Mimpi Rahel melihat kampungnya maju dalam hal pendidikan, mimpi saya, mimpi para relawan Rumah Dunia juga, yang ingin melihat Banten maju. Atau mimpi Anda, yang ingin melihat Indonesia bangkit dari keterpurukan. Itulah sebabnya, kami sangat mendukung Rahel.  Kini Rahel jadi guru di SMP Al-Irsyad, menikah, dan pada 2009, putri pertamanya lahir. Dia juga konsisten, tetap berada di kampungnya, tidak tergiur tinggal di kota.
Bagi saya, penting mendukung perjalanan karir seseorang, agar orang itu menjadi public figure di tempatnya. Itu endorsment. Maka, kumpulan puisinya; Kampung Ular, tentang kegelisahan dan kemarahannya pada apa yang terjadi di kampungnya, Waringinkurung, kami terbitkan. Rahel pun muncul di TV lokal; Banten TV dan BR TV. Wajahnya makin sering muncul di koran dan jadi nara sumber di pelatihan kepenulisan untuk guru-guru di Banten. Beberapa kali Rahel diundang pelatihan di Jakarta atau jadi perwakilan Banten menghadiri pertemuan-pertemuan sastrawan se-indonesia.
Kini mimpinya banyak. ”Saya ingin guru-guru di Banten bisa menulis.” Itu dibuktikannya dengan satu cerpennya diikutkan di kumcer  Gadis Kota Jerash (Lingkar Pena Publishing House, 2009) bersama Habiburahman El Shirazy dkk. Di lingkungan kerjanya, Yayasan Pendidikan Al-Irsyad, Waringinkurung, Rahel jadi guru inspiratif, sering membawa anak-anak didiknya ke Rumah Dunia, mengikuti pelatihan menulis, bedah atau peluncuran novel.
NOVEL DAN TANAH
Pada awal tahun 2010, Rahel menyerahkan manuskrip novel “Kuteriakkan Cintaku di Speaker Masjid” kepada saya.  Novel itu melawan arus bagi orang yang akan menjadi Pegawai Negeri. Pembaca juga akan menemukan semangat, perjuangan, cinta, dan keberanian seorang guru di sekolah terpencil dan jauh dari kota. Rahel memaparkan, “Mulanya  aku membenci profesiku sebagai guru, lama kelamaan aku tertarik dan ingin menulis tentang itu. Sebab di sana banyak orang-orang menderita dan minta untuk ditulis dengan segera.“
Lalu terlintaslah di benak saya, bahwa novel Rahel yang kemudian judulnya diganti jadi “Guru Malang, Dibuang Jangan”, dijadikan proyek pertama Gong Publishing, lini usaha Rumah Dunia, untuk pembebasan tanah Taman Budaya Rumah Dunia seluas 1800 m2. Harga buku Rp50.000 sudah termasuk ongkos kirim Jawa dan luar Jawa, kecuali Papua. Royalti sebesar Rp20.000 disumbangkan untuk pembebasan tanah Rumah Dunia. Terkesan utopia. Bayangkan, harga semeter tanah Rp250.000, berarti total seharga Rp450 juta!  Saya bilang ke para relawan, “Untuk niat baik, bismillah. Dan, kita akan menyaksikan tangan-tangan Allah bekerja secara misterius.” Ini bukan isapan jempol, tapi sudah kita buktikan. Taman Budaya Rumah Dunia yang berdiri di lahan seluas 970 m2, dana pembebasan tanahnya dari teman-teman di akun facebook saya (Gol A Gong).
Saya betul-betul sudah tekadkan ingin membebaskan tanah di sebelah Taman Budaya Rumah Dunia. Rahel juga menyerahkan novelnya untuk proyek sosial ini. Alasan kami, karena lingkungan di Taman Budaya Rumah Dunia sudah kondusif dan sehat untuk gerakan literasi lokal dari Banten untuk Indonesia Membaca. Sepanjang September-Oktober-November 2010 saja, banyak kegiatan “gempa literasi” di sini. Apalagi setelah Direktorat Jenderal FNFI, Direktorat Pendidikan Masyarakat, Depdiknas menyumbang Rp200 juta untuk menyulap lahan seluas 970 m2 menjadi Taman Budaya Rumah Dunia; gedung Balai Belajar Bersama, cafe baca, panggung terbuka, dan play ground. Kelak, Taman Budaya Rumah Dunia tidak hanya untuk orang Banten, tapi untuk siapa saja. Jika di tanah itu dibangun kegiatan lain, misalnya toko material, sepanjang hayat akan mengganjal hati kita. Pemilik tanah memberi kami waktu 6 bulan (November – Juni 2011). Kami sudah panjer Rp7 juta,  sebagai pengikat. Para relawan Rumah Dunia juga siap berada di garis depan, menawarkan novel Rahel itu kepada teman-temannya di sekolah/kampus, teman-temannya di akun facebooknya atau kepada siapa saja .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar