Ayah Jangan Pergi
Cerita Pendek Bomanto
Jami
“Ayah jangan
pergi,” kata anak gadisku yang bulan depan berulangtahun ke tujuh belas dengan
nada memelas, di suatu momen bicara dari hati ke hati, ”Meskipun seluruh harta
yang ada sekarang untuk kami, itu tak akan cukup untuk menggantikan Ayah. Kami
memilih Ayah. Selagi ibu masih ada, tolong Ayah jangan pergi untuk wanita
lain.”
Kurasakan genangan air di pelupuk mataku.
Sudah sering aku merasakan haru tetapi tidak seperti yang kurasakan hari ini
sehingga kubiarkan saja ketika genangan air itu menitik di pipiku. Ada perasaan menyesal telah berandai-andai dan meminta
pendapat anak kesayanganku mengenai kemungkinan aku beristri lagi. Sebenarnya
aku sudah menduga jika gadis berkulit halus itu akan menanggapinya dengan
serius karena memang sudah ada angin-angin sebelumnya.
Sambil mengusap kepala remaja berwajah manis dan berkerudung
itu, aku berkata, “Kamu dan dua adikmu adalah harta ayah yang paling berharga,
Sayangku, tak mungkin ayah meninggalkan kalian hanya demi perempuan lain. Kamu
percaya, kan?”
“Ibu bilang Ayah
selingkuh.”
Sejenak aku
hanya membisu, berusaha menemukan kalimat yang tepat untuk menjelaskan pernyataan
gadis penggemar artis Korea ini. Kemudian,
“Ibu hanya salah mengerti, Sayang. Ayah tidak pernah
selingkuh. Ayah kira kamu juga tahu bagaimana sikap ayah dalam menjalani
komitmen selama ini. Ayah selalu berusaha konsisten terhadap komitmen meskipun
itu pahit.”
“Jujurlah Ayah.
Sekarang Ayah nggak jujur, berarti juga
Ayah nggak konsisten dengan komitmen. Apa artinya ayah mengajari kami untuk
selalu jujur, terbuka, saling bicara dan jaga komunikasi? Sekarang Ayah nggak
jujur sekedar untuk menutupi kesalahan Ayah.”
“Ayah nggak
bohong. Ayah konsisten,” kataku berusaha menyakinkan gadis berwajah oval yang
lahir satu tahun setelah pernikahanku dengan Khodijah, istriku. Salsabila lahir
ketika putri kedua Haji Muslim, istriku itu, berusia tiga puluh tiga tahun.
“Jika Ayah
konsisten, tidak ada keributan ini,” katanya sambil menahan tangis. Angin yang hangat mengibaskan ujung jilbabnya yang
berwarna merah jambu. Aku yang heran, sesaat
yang lalu dia begitu tegar, tegas, setengah menuntut, tiba-tiba saja anak
sulungku ini terlihat ingin menangis. ”Jika Ayah konsisten, Ibu tidak marah
besar. Ibu tidak akan pernah melawan, Ayah. Ibu membangkang karena Ayah sudah
menyakitinya. Ayah sudah selingkuh dan berjanji akan menikahi perempuan bernama
Bebi. Ayah mulai bertingkah, mulai …”
“Cukup,”
bentakku. Seketika hening. Hanya suara angin dan kecipak ikan-ikan lele di
kolam yang terdengar. Dalam hatiku, ada
sedikit penyesalan telah mengeluarkan suara keras di hadapan anak gadisku yang
sangat aku sayangi dan hampir tak pernah kuperlakukan kasar ini, tetapi kupikir
tak apalah bersikap keras dan kasar sekali-sekali apabila perlu seperti
sekarang ini. Salsabila, anak gadisku yang kini duduk
di kelas XII SMA 4 Baturaja itu akhirnya malah menangis. Kubiarkan saja dia menumpahkan emosinya
sebab aku berpikir dia akan mengelakkan tanganku bila kubelai atau kurangkul. Setidaknya, aku berkeyakinan bahwa sebentar lagi dia akan
menyadari dengan siapa dia bicara dan menyesali sikapnya yang nyerocos seperti
leding bocor. Aku berusaha mengatur nafasku yang mulai tersengal dan denyut
jantungku yang lebih cepat dari biasa karena menahan perasaan. “Kalian
terlalu emosional sehingga tidak bisa menerima penjelasan. Kalian
berpendidikan, tetapi emosi berlebihan telah menyebabkan logika kalian
ketinggalan.”
Aku
menarik napas dalam. Angin dari arah kolam dan
rawa-rawa pasang surut menghembuskan hawa sejuk di antara sinar matahari
yang terik. Kolam dan rawa-rawa yang pernah menjadi tumpahan segala
keluh-kesah, kekecewaan, keputusasaan dan penderitaan, yang kini mulai memberikan
harapan bagi masa depan. Kolam dan rawa-rawa yang memperkenalkan aku pada
sebuah keluarga terhormat sekaligus mempertemukanku pada seorang wanita mulia yang
telah mengubah arah dan sikap hidupku. Rasanya, aku tidak bisa percaya bila
keadaan yang nyaris tanpa noda selama belasan tahun itu kini menjadi prahara.
Rasanya aku hampir tidak percaya semua ini nyata.
Semula,
aku menyangka Caca –cumbuan untuk anakku yang suka berselancar di dunia maya
bersama Google ini, sengaja datang ke rumah yang dikelilingi kolam ini karena
disuruh ibunya untuk menjemputku yang sudah hampir tiga hari tidak pulang ke rumah Surga di jalan Raya
Palembang – Muara Enim, tetapi sampai perdebatan ini terjadi dia tidak
mengungkapkan hal tersebut padahal –jujur, aku sangat ingin mendengarnya.
Ternyata, perempuan belahan jiwaku ini hanya berusaha menyudutkan dan memvonis
aku bersalah tanpa berusaha memahami aku dan menjalin interaksi dan komunikasi
yang baik seperti biasanya.
“Tapi perempuan
bernama Bebi itu ada, Ayah. Ibu malah sudah bertemu dan bicara dengannya,” kata
gadis yang bercita-cita ingin jadi dokter ini sambil sesunggukan dan berusaha
menyeka air matanya dengan ujung baju panjangnya. “Jadi Ayah tidak bisa
mengelak lagi. Pasti Ayah merasa salah sehingga melarikan diri ke pondok kolam
ini.”
Bebi. Ya, Bebi Cintia
Putri nama lengkapnya, memang pernah ada dan aku pernah mengenalnya dengan
sangat baik. Jujur, dia perempuan yang istimewa, menurutku. Wajahnya cantik dan
manis, tubuh ideal seperti putri dalam cerita dongeng yang selalu didengarnya
dari neneknya, cerdas dan juga ramah. Aku adalah salah satu dari sekian puluh
lelaki yang jatuh hati setengah mati dan tergila-gila padanya. Sayangnya, aku tidak cukup beruntung sehingga aku tidak
pernah berhasil mendapatkan hatinya apalagi bisa memiliki dirinya. Kalaupun
akhirnya aku dan dia menjalin hubungan
sebagai kekasih, itu tidak berlangsung lama dan justru menjadi sejarah pahit
dalam kisah asmaraku.
Sudah
berkali-kali aku dibuatnya kecewa tetap aku tetap saja sayang dan cinta padanya
dan sama sekali tak bisa membencinya. Saat masih kelas dua SMP, aku pernah
ditinggalkannya sebambangan dan
menikah dengan remaja pengangguran yang setiap hari menjemputnya dengan motor
Suzuki Jet Cooled. Selang dua bulan kemudian gadis berambut panjang sepinggang
itu masuk sekolah lagi di sebuah swasta hingga tamat. Kebetulan, aku dan dia
satu sekolah lagi ketika di SMA, dan tiga bulan menjelang EBTANAS dia menikah
dengan toke beras, orang paling kaya di kampung kami. Bukan main kecewanya hati
ini, tetapi dasar bodoh, atau mungkin sudah cinta mati, aku berteman bahkan
menjalin hubungan asmara lebih serius dengannya lagi setelah dia diceraikan
suaminya yang ke dua.
Rasa
ngilu kembali menyeruak ke dalam benakku. Selama ini, selama bertahun-tahun dan
dengan susah payah aku berusaha mengusir dan melupakannya, melupakan perasaan
serupa, tetapi kini dia datang lagi setelah aku hampir bisa melupakannya.
“Ayah minta maaf
jika salah,” kataku akhirnya,
merendah lagi. Bagiku, istri dan anak-anakku
adalah milikku yang paling berharga saat ini. Bebi adalah masa lalu yang sama
sekali tak kuinginkan hadir lagi dalam kehidupanku sekarang. Yang lalu biarlah
berlalu, apalagi masa lalu yang kelabu. Masa depan yang lebih baik dan lebih
indah yang menjadi impian yang harus aku wujudkan. “Percayalah,
Ayah tidak selingkuh dan tak hendak
menikah lagi. Kalian salah terka.”
“Tapi Bebi itu
siapa? Dia kenal Ayah dengan baik. Masa kecil Ayah, saudara Ayah, bahkan nama
Kakek dan Nenek, dia tau.”
“Dia masa lalu.”
“Masa lalu?” nada tak percaya itu keluar dari bibir tipisnya seperti
peluru letupan yang sedang dimainkan anak-anak. Kernyit-kernyit di keningnya
yang mulus dan mata yang membola seakan
ikut memperjelas perasaan tidak percaya di hatinya. “Perempuan itu hadir
di rumah kita, Ayah. Berbicara dengan Ibu. Memang awalnya mereka kenalan lewat
facebook, tetapi mereka bertemu di alam nyata belum seminggu minggu yang lalu.”
“Ya, tetapi bagaimanapun, itu masa
lalu ayah yang kelabu, yang sudah ayah kubur dan sama sekali tak ingin
mengingatnya lagi. Apalagi sejak Ayah bertemu ibumu.” kataku sambil menahan
rasa ngilu yang semakin menyesaki rongga dadaku. Sungguh tidak pernah mudah
bagiku untuk melepaskan diri dari bayang-bayang wanita cantik yang pernah paling kusayangi dan kucintai itu. Bertahun-tahun aku berusaha
melupakannya tanpa hasil yang nyata. Dan sekarang, saat aku bisa menemukan
diriku kembali dan hidup lebih nyaman, tampaknya aku terpaksa membongkar kembali masa lalu
yang teramat pahit itu demi anak-anakku, demi keluargaku.
Setelah menarik
nafas sebentar seraya iseng melemparkan sebutir batu ke permukaan kolam seperti
biasa dilakukan anak remaja, aku berkata lagi, “Sebenarnya ayah pernah menceritakan
ini pada ibumu ketika mula bertemu dulu tetapi ibumu mungkin sudah
melupakannya.”
***
“Kamu nggak ingin punya istri,
Man?” tanya lelaki dermawan dan baik hati yang akhirnya kuketahui bernama Haji
Muslim itu sambil tersenyum. Siang itu, hanya
ada aku dan lelaki beruban dan selalu berkopyah putih itu. Anak perempuannya –yang termasuk perawan tua, sedang
memasak di dapur, mungkin sedang mengolah ikan hasil tangkapanku beberapa menit
yang lalu. Seingatku, hari ini adalah tahun ke lima aku diterima dan menjadi
bujang di rumah orang kaya yang rendah hati ini. Sebelumnya, selama satu bulan
aku terdampar di kebun karet di dekat rawa-rawa milik Haji Muslim yang sekarang
kami kelola untuk budidaya ikan ini. Selama satu tahun juga aku hidup seperti nomaden dan
orang rimba yang setiap hari bergulat dengan keletihan, kelaparan, dan kesepian
di kebun karet dan rawa-rawa. Beruntung sekali Pak Kiayi –sebutanku waktu itu,
mempercayai aku untuk mengelola kebun karetnya yang luas dan rawa-rawa yang
membuatku kenyang makan ikan lembat
yang lezat rasanya.
Kami duduk berhadapan, seperti anak dengan bapak dan tidak tampak seperti
pembantu dengan tuanya, seperti permintaan lelaki berkaca mata itu. “Kalo kamu
sudah punya calon, bilang saja, nanti saya urusi.”
Aku
tidak bisa menjawab. Sebenarnya aku ingin mengatakan dengan jujur bahwa aku
menyukai anaknya yang rajin salat dan rajin mengaji serta nggak pernah pacaran
itu tetapi aku sama sekali tak memiliki keberanian untuk mngatakan isi hatiku
itu. Aku merasa perlu menyadari siapa diriku ini, yang tak lebih dari lelaki
frustasi dan gelandangan yang baru bisa tersenyum memandang matahari berkat
kebaikan orang yang tak lain adalah Haji Muslim yang budiman. Aku merasa tak
pantas memikirkan Dija –sapaan akrab Khodijah, apalagi sampai berniat untuk
menjadi suaminya. Aku tak mau dikatakan sbagai lelaki yang dikasih hati minta
jantung.
Aku
dan Dija sungguh jauh berbeda. Mayb, we
like the earth and the sky.
“Mau
kamu jadi imam untuk Dija?” kata Haji Muslim di luar dugaanku, beberapa saat
setelah gadis cantik berkerudung putih meletakkan dua cangkir berisi sirup
dingin dan piring berisi keripik tempe kesukaan Pak Haji (sebenarnya kesukaanku
juga) di hadapan kami. Mungkin beliau sempat melihatku mencuri-curi pandang
kepada Dija, tadi. Lagi-lagi aku hanya tersenyum-senyum, tidak bisa berkata
apa-apa. Bodoh sekali, ya? Ini namanya pucuk dicinta ulam tiba, jangan biarkan
berlalu sia-sia, tetapi aku merasa ini terlalu mudah, seperti mimpi saja.
Benarkah lelaki tua yang sangat aku hormati itu mau menyerahkan anak gadisnya
yang sarjana, berpikiran luas, dan sangat mandiri itu kepadaku yang tak lebih
dari lelaki kabur kanginan? Sungguh
sulit dipercaya dan hampir-hampir mustahil terjadi. “Aku tidak sedang becanda
lo, Man. Aku percaya kamu lelaki yang baik untuk dia.”
Seseorang
menyentuh jemari tanganku. Aku terkejut dan seketika buyarlah kenangan itu sebelum
aku sempat menyelesaikannya. Aku masih duduk di kursi kayu di teras pondok di
atas kolam yang penuh kenangan ini. Perempuan bertubuh sedang, bergamis dan
berkerudung ungu, tiba-tiba saja menggenggam dan mencium punggung tanganku. Hatiku
merasa syahdu. Baru saja aku berpikir untuk kembali ke rumah dan mengalah serta
menjelaskan semuanya dengan sabar, ternyata wanita yang selalu menjadi
inspirasiku untuk maju ini sudah menyusulku lebih dulu. Terima kasih, Tuhan.
Engkau bukakan hatinya untukku.
“Diajeng
minta maaf,” katanya sambil meneteskan air mata. Setahuku Dija – istriku itu,
jarang menangis meskipun sedang menghadapi masalah berat.
cerita yang mengharukan pak...
BalasHapus