Kamis, 23 Januari 2014

Ayah Jangan Pergi



Ayah Jangan Pergi

Cerita Pendek Bomanto Jami

“Ayah jangan pergi,” kata anak gadisku yang bulan depan berulangtahun ke tujuh belas dengan nada memelas, di suatu momen bicara dari hati ke hati, ”Meskipun seluruh harta yang ada sekarang untuk kami, itu tak akan cukup untuk menggantikan Ayah. Kami memilih Ayah. Selagi ibu masih ada, tolong Ayah jangan pergi untuk wanita lain.”

 Kurasakan genangan air di pelupuk mataku. Sudah sering aku merasakan haru tetapi tidak seperti yang kurasakan hari ini sehingga kubiarkan saja ketika genangan air itu menitik di pipiku. Ada perasaan menyesal telah berandai-andai dan meminta pendapat anak kesayanganku mengenai kemungkinan aku beristri lagi. Sebenarnya aku sudah menduga jika gadis berkulit halus itu akan menanggapinya dengan serius karena memang sudah ada angin-angin sebelumnya. Sambil mengusap kepala remaja berwajah manis dan berkerudung itu, aku berkata, “Kamu dan dua adikmu adalah harta ayah yang paling berharga, Sayangku, tak mungkin ayah meninggalkan kalian hanya demi perempuan lain. Kamu percaya, kan?”
“Ibu bilang Ayah selingkuh.”
Sejenak aku hanya membisu, berusaha menemukan kalimat yang tepat untuk menjelaskan pernyataan gadis penggemar artis Korea ini. Kemudian, “Ibu hanya salah mengerti, Sayang. Ayah tidak pernah selingkuh. Ayah kira kamu juga tahu bagaimana sikap ayah dalam menjalani komitmen selama ini. Ayah selalu berusaha konsisten terhadap komitmen meskipun itu pahit.”
“Jujurlah Ayah. Sekarang Ayah nggak jujur, berarti  juga Ayah nggak konsisten dengan komitmen. Apa artinya ayah mengajari kami untuk selalu jujur, terbuka, saling bicara dan jaga komunikasi? Sekarang Ayah nggak jujur sekedar untuk menutupi kesalahan Ayah.”
“Ayah nggak bohong. Ayah konsisten, kataku berusaha menyakinkan gadis berwajah oval yang lahir satu tahun setelah pernikahanku dengan Khodijah, istriku. Salsabila lahir ketika putri kedua Haji Muslim, istriku itu, berusia tiga puluh tiga tahun.  
“Jika Ayah konsisten, tidak ada keributan ini,” katanya sambil menahan tangis. Angin yang hangat mengibaskan ujung jilbabnya yang berwarna merah jambu. Aku yang heran, sesaat yang lalu dia begitu tegar, tegas, setengah menuntut, tiba-tiba saja anak sulungku ini terlihat ingin menangis. ”Jika Ayah konsisten, Ibu tidak marah besar. Ibu tidak akan pernah melawan, Ayah. Ibu membangkang karena Ayah sudah menyakitinya. Ayah sudah selingkuh dan berjanji akan menikahi perempuan bernama Bebi. Ayah mulai bertingkah, mulai …”
“Cukup,” bentakku. Seketika hening. Hanya suara angin dan kecipak ikan-ikan lele di kolam yang terdengar. Dalam hatiku, ada sedikit penyesalan telah mengeluarkan suara keras di hadapan anak gadisku yang sangat aku sayangi dan hampir tak pernah kuperlakukan kasar ini, tetapi kupikir tak apalah bersikap keras dan kasar sekali-sekali apabila perlu seperti sekarang ini. Salsabila, anak gadisku yang kini duduk di kelas XII SMA 4 Baturaja itu akhirnya malah menangis. Kubiarkan saja dia menumpahkan emosinya sebab aku berpikir dia akan mengelakkan tanganku bila kubelai atau kurangkul. Setidaknya, aku berkeyakinan bahwa sebentar lagi dia akan menyadari dengan siapa dia bicara dan menyesali sikapnya yang nyerocos seperti leding bocor. Aku berusaha mengatur nafasku yang mulai tersengal dan denyut jantungku yang lebih cepat dari biasa karena menahan perasaan. “Kalian terlalu emosional sehingga tidak bisa menerima penjelasan. Kalian berpendidikan, tetapi emosi berlebihan telah menyebabkan logika kalian ketinggalan.”
Aku menarik napas dalam. Angin dari arah kolam dan  rawa-rawa pasang surut menghembuskan hawa sejuk di antara sinar matahari yang terik. Kolam dan rawa-rawa yang pernah menjadi tumpahan segala keluh-kesah, kekecewaan, keputusasaan dan penderitaan, yang kini mulai memberikan harapan bagi masa depan. Kolam dan rawa-rawa yang memperkenalkan aku pada sebuah keluarga terhormat sekaligus mempertemukanku pada seorang wanita mulia yang telah mengubah arah dan sikap hidupku. Rasanya, aku tidak bisa percaya bila keadaan yang nyaris tanpa noda selama belasan tahun itu kini menjadi prahara. Rasanya aku hampir tidak percaya semua ini nyata.
Semula, aku menyangka Caca –cumbuan untuk anakku yang suka berselancar di dunia maya bersama Google ini, sengaja datang ke rumah yang dikelilingi kolam ini karena disuruh ibunya untuk menjemputku yang sudah hampir tiga hari  tidak pulang ke rumah Surga di jalan Raya Palembang – Muara Enim, tetapi sampai perdebatan ini terjadi dia tidak mengungkapkan hal tersebut padahal –jujur, aku sangat ingin mendengarnya. Ternyata, perempuan belahan jiwaku ini hanya berusaha menyudutkan dan memvonis aku bersalah tanpa berusaha memahami aku dan menjalin interaksi dan komunikasi yang baik seperti biasanya.
“Tapi perempuan bernama Bebi itu ada, Ayah. Ibu malah sudah bertemu dan bicara dengannya,” kata gadis yang bercita-cita ingin jadi dokter ini sambil sesunggukan dan berusaha menyeka air matanya dengan ujung baju panjangnya. “Jadi Ayah tidak bisa mengelak lagi. Pasti Ayah merasa salah sehingga melarikan diri ke pondok kolam ini.”
Bebi. Ya, Bebi Cintia Putri nama lengkapnya, memang pernah ada dan aku pernah mengenalnya dengan sangat baik. Jujur, dia perempuan yang istimewa, menurutku. Wajahnya cantik dan manis, tubuh ideal seperti putri dalam cerita dongeng yang selalu didengarnya dari neneknya, cerdas dan juga ramah. Aku adalah salah satu dari sekian puluh lelaki yang jatuh hati setengah mati dan tergila-gila padanya. Sayangnya,  aku tidak cukup beruntung sehingga aku tidak pernah berhasil mendapatkan hatinya apalagi bisa memiliki dirinya. Kalaupun akhirnya aku dan dia  menjalin hubungan sebagai kekasih, itu tidak berlangsung lama dan justru menjadi sejarah pahit dalam kisah asmaraku.
Sudah berkali-kali aku dibuatnya kecewa tetap aku tetap saja sayang dan cinta padanya dan sama sekali tak bisa membencinya. Saat masih kelas dua SMP, aku pernah ditinggalkannya sebambangan dan menikah dengan remaja pengangguran yang setiap hari menjemputnya dengan motor Suzuki Jet Cooled. Selang dua bulan kemudian gadis berambut panjang sepinggang itu masuk sekolah lagi di sebuah swasta hingga tamat. Kebetulan, aku dan dia satu sekolah lagi ketika di SMA, dan tiga bulan menjelang EBTANAS dia menikah dengan toke beras, orang paling kaya di kampung kami. Bukan main kecewanya hati ini, tetapi dasar bodoh, atau mungkin sudah cinta mati, aku berteman bahkan menjalin hubungan asmara lebih serius dengannya lagi setelah dia diceraikan suaminya yang ke dua.
Rasa ngilu kembali menyeruak ke dalam benakku. Selama ini, selama bertahun-tahun dan dengan susah payah aku berusaha mengusir dan melupakannya, melupakan perasaan serupa, tetapi kini dia datang lagi setelah aku hampir bisa melupakannya.  
“Ayah minta maaf jika salah,” kataku akhirnya, merendah lagi. Bagiku, istri dan anak-anakku adalah milikku yang paling berharga saat ini. Bebi adalah masa lalu yang sama sekali tak kuinginkan hadir lagi dalam kehidupanku sekarang. Yang lalu biarlah berlalu, apalagi masa lalu yang kelabu. Masa depan yang lebih baik dan lebih indah yang menjadi impian yang harus aku wujudkan.   Percayalah, Ayah tidak selingkuh dan tak  hendak menikah lagi. Kalian salah terka.”
“Tapi Bebi itu siapa? Dia kenal Ayah dengan baik. Masa kecil Ayah, saudara Ayah, bahkan nama Kakek dan Nenek,  dia tau.”
“Dia masa lalu.”
“Masa lalu?” nada tak percaya itu keluar dari bibir tipisnya seperti peluru letupan yang sedang dimainkan anak-anak. Kernyit-kernyit di keningnya yang mulus dan mata yang membola seakan  ikut memperjelas perasaan tidak percaya di hatinya. “Perempuan itu hadir di rumah kita, Ayah. Berbicara dengan Ibu. Memang awalnya mereka kenalan lewat facebook, tetapi mereka bertemu di alam nyata belum seminggu minggu yang lalu.”
“Ya, tetapi bagaimanapun, itu masa lalu ayah yang kelabu, yang sudah ayah kubur dan sama sekali tak ingin mengingatnya lagi. Apalagi sejak Ayah bertemu ibumu.” kataku sambil menahan rasa ngilu yang semakin menyesaki rongga dadaku. Sungguh tidak pernah mudah bagiku untuk melepaskan diri dari bayang-bayang wanita cantik yang pernah paling kusayangi dan  kucintai itu. Bertahun-tahun aku berusaha melupakannya tanpa hasil yang nyata. Dan sekarang, saat aku bisa menemukan diriku kembali dan hidup lebih nyaman, tampaknya  aku terpaksa membongkar kembali masa lalu yang teramat pahit itu demi anak-anakku, demi keluargaku.
Setelah menarik nafas sebentar seraya iseng melemparkan sebutir batu ke permukaan kolam seperti biasa dilakukan anak remaja, aku berkata lagi, “Sebenarnya ayah pernah menceritakan ini pada ibumu ketika mula bertemu dulu tetapi ibumu mungkin sudah melupakannya.”

***

Kamu nggak ingin punya istri, Man?” tanya lelaki dermawan dan baik hati yang akhirnya kuketahui bernama Haji Muslim itu sambil tersenyum. Siang itu, hanya ada aku dan lelaki beruban dan selalu berkopyah putih itu. Anak perempuannya –yang termasuk perawan tua, sedang memasak di dapur, mungkin sedang mengolah ikan hasil tangkapanku beberapa menit yang lalu. Seingatku, hari ini adalah tahun ke lima aku diterima dan menjadi bujang di rumah orang kaya yang rendah hati ini. Sebelumnya, selama satu bulan aku terdampar di kebun karet di dekat rawa-rawa milik Haji Muslim yang sekarang kami kelola untuk budidaya ikan ini. Selama satu  tahun juga aku hidup seperti nomaden dan orang rimba yang setiap hari bergulat dengan keletihan, kelaparan, dan kesepian di kebun karet dan rawa-rawa. Beruntung sekali Pak Kiayi –sebutanku waktu itu, mempercayai aku untuk mengelola kebun karetnya yang luas dan rawa-rawa yang membuatku kenyang makan ikan lembat yang lezat rasanya.
 Kami duduk berhadapan, seperti anak dengan bapak dan tidak tampak seperti pembantu dengan tuanya, seperti permintaan lelaki berkaca mata itu. “Kalo kamu sudah punya calon, bilang saja, nanti saya urusi.”
Aku tidak bisa menjawab. Sebenarnya aku ingin mengatakan dengan jujur bahwa aku menyukai anaknya yang rajin salat dan rajin mengaji serta nggak pernah pacaran itu tetapi aku sama sekali tak memiliki keberanian untuk mngatakan isi hatiku itu. Aku merasa perlu menyadari siapa diriku ini, yang tak lebih dari lelaki frustasi dan gelandangan yang baru bisa tersenyum memandang matahari berkat kebaikan orang yang tak lain adalah Haji Muslim yang budiman. Aku merasa tak pantas memikirkan Dija –sapaan akrab Khodijah, apalagi sampai berniat untuk menjadi suaminya. Aku tak mau dikatakan sbagai lelaki yang dikasih hati minta jantung.
Aku dan Dija sungguh jauh berbeda. Mayb, we like the earth and the sky.
“Mau kamu jadi imam untuk Dija?” kata Haji Muslim di luar dugaanku, beberapa saat setelah gadis cantik berkerudung putih meletakkan dua cangkir berisi sirup dingin dan piring berisi keripik tempe kesukaan Pak Haji (sebenarnya kesukaanku juga) di hadapan kami. Mungkin beliau sempat melihatku mencuri-curi pandang kepada Dija, tadi. Lagi-lagi aku hanya tersenyum-senyum, tidak bisa berkata apa-apa. Bodoh sekali, ya? Ini namanya pucuk dicinta ulam tiba, jangan biarkan berlalu sia-sia, tetapi aku merasa ini terlalu mudah, seperti mimpi saja. Benarkah lelaki tua yang sangat aku hormati itu mau menyerahkan anak gadisnya yang sarjana, berpikiran luas, dan sangat mandiri itu kepadaku yang tak lebih dari lelaki kabur kanginan? Sungguh sulit dipercaya dan hampir-hampir mustahil terjadi. “Aku tidak sedang becanda lo, Man. Aku percaya kamu lelaki yang baik untuk dia.”
Seseorang menyentuh jemari tanganku. Aku terkejut dan seketika buyarlah kenangan itu sebelum aku sempat menyelesaikannya. Aku masih duduk di kursi kayu di teras pondok di atas kolam yang penuh kenangan ini. Perempuan bertubuh sedang, bergamis dan berkerudung ungu, tiba-tiba saja menggenggam dan mencium punggung tanganku. Hatiku merasa syahdu. Baru saja aku berpikir untuk kembali ke rumah dan mengalah serta menjelaskan semuanya dengan sabar, ternyata wanita yang selalu menjadi inspirasiku untuk maju ini sudah menyusulku lebih dulu. Terima kasih, Tuhan. Engkau bukakan hatinya untukku.
“Diajeng minta maaf,” katanya sambil meneteskan air mata. Setahuku Dija – istriku itu, jarang menangis meskipun sedang menghadapi masalah berat.

1 komentar: